Kamis, Januari 20, 2011

Kisah sang muda….

Seorang akademisi muda yang cerdas mengisi aplikasi untuk posisi manajerial di sebuah perusahaan besar. Dia lulus pada interview tahap pertama, dan tahap selanjutnya adalah interview dengan jajaran direksi.
Sang direktur menemukan prestasi-prestasi cemerlang dalam CV anak muda tersebut. Sejak sekolah dasar hingga perguruan tinggi, anak muda tersebut selalu mendapat peringkat pertama.
Melihat prestasi-prestasi tersebut, sang direktur pun bertanya: “Apakah Anda menerima beasiswa semasa sekolah dan kuliah?”
Anak muda itu menjawab, “Tidak.”
Direktur bertanya lagi: “Apakah ayah Anda yang membayar biaya sekolah Anda?
Anak muda itu menjawab, “Ayah saya telah meninggal dunia ketika saya baru berumur satu tahun. Seluruh biaya sekolah saya dibayarkan oleh Ibu.”
Direktur bertanya, “Di mana ibumu bekerja?”
Anak muda itu menjawab, “Ibu saya bekerja sebagai seorang pencuci pakaian.”
Direktur itu meminta anak muda tersebut untuk menunjukkan tangannya.
Anak muda itu menunjukkan kedua tangannya yang sangat halus dan sempurna.
Direktur bertanya lagi: “Pernahkah Anda membantu ibu Anda mencuci pakaian sebelumnya?”
Anak muda itu menjawab, “ Tidak pernah. Ibu saya selalu menginginkan saya belajar dan membaca banyak buku. Lagi pula, Ibu mencuci baju jauh lebih cepat ketimbang saya.”
Direktur tersebut kemudian berkata, “Saya punya satu permintaan. Ketika nanti kamu sampai di rumah, cuci dan bersihkan tangan ibumu, kemudian, temui saya besok pagi.”
Anak muda tersebut merasa kesempatannya mendapat pekerjaan tersebut sangat besar. Ketika dia sampai di rumah, dengan begitu gembira ia meminta izin kepada ibunya agar ia boleh mencuci tangan beliau.
Ibunya merasa sedikit asing, aneh, juga bahagia dan perasaan-perasaan lainnya bercampur jadi satu. Sang Ibu kemudian memberikan kedua tangannya kepada sang anak.
Anak muda tersebut membersihkan tangan Sang Ibu perlahan. Airmatanya mulai menetes saat itu. Ini pertama kalinya ia menyadari bahwa tangan ibunya sudah penuh dengan kerutan, dan terdapat banyak memar di sana. Beberapa memar sepertinya terasa begitu sakit, sampai-sampai Sang Ibu menggigil ketika memar tersebut terkena air ketika dibersihkan.
Ini pertama kalinya anak muda tersebut menyadari bahwa kedua tangan yang sedang dibersihkan inilah yang digunakan Sang Ibu setiap hari untuk mencuci pakaian banyak orang, sehingga Sang Ibu dapat membiayai biaya sekolah anaknya. Memar-memar yang ada di tangan Sang Ibu adalah harga yang harus dibayar atas kelulusan anak tersebut, atas prestasinya yang luar biasa, dan atas masa depannya.
Setelah selesai mencuci tangan Sang Ibu, anak muda tersebut diam-diam mencuci sisa baju yang belum sempat dicuci oleh ibunya.
Malam itu, anak dan ibu tersebut berbincang sangat lama sekali.
Besok paginya, anak muda tersebut bergegas menemui sang direktur.
Direktur tersebut menangkap airmata di wajah anak muda tersebut. Ia pun kemudian bertanya: “Bisa Anda ceritakan apa yang telah Anda lakukan kemarin dan apa pelajaran yang Anda dapat dari sana?”
Anak muda tersebut menjawab, “Saya mencuci tangan Ibu saya, dan kemudian saya menyelesaikan sisa cucian Ibu yang belum tercuci.”
Direktur itu bertanya lagi, “Tolong ceritakan perasaan Anda.”
Anak muda itu menjawab,
1. Saya sekarang tahu apa arti apresiasi. Tanpa ibu saya, tidak akan pernah ada seorang
saya yang sukses hari ini.
2. Dengan bekerja sama serta membantu Ibu, saya baru menyadari betapa sulit dan
beratnya Ibu menjalani pekerjaannya.
3. Saya datang hari ini untuk mengapresiasi penting dan bernilainya hubungan keluarga.
Direktur tersebut kemudian berkata, “Inilah yang saya cari dari seorang calon manajer. Saya ingin merekrut seseorang yang dapat mengapresiasi bantuan orang lain, seseorang yang tahu persis perjuangan orang lain untuk mengerjakan sesuatu, dan seseorang yang tidak akan menempatkan uang sebagai tujuan hidup satu-satunya. Anda diterima!”
Selanjutnya, anak muda ini pun bekerja dengan begitu giat, dan menerima respek serta penghormatan dari anak buahnya. Setiap karyawan dalam tim yang dipimpin anak muda itu bekerja dengan penuh semangat. Performa perusahaan meningkat sangat drastis.
Bapak dan Ibu yang baik, seorang anak, yang dijaga dan dibiasakan untuk mendapatkan apapun yang diinginkannya akan mengembangkan “mentalitas meminta”, dan akan selalu meletakkan dirinya sebagai pusat dan prioritas untuk setiap hal. Dia akan menjadi tidak peduli terhadap usaha keras orangtuanya untuk membiayai segala keperluan hidupnya. Ketika ia mulai memasuki dunia kerja, dia mengasumsikan bahwa setiap orang harus mendengarnya, dan ketika ia menjadi seorang manajer, dia tidak akan pernah tahu perjuangan setiap karyawan di bawahnya dan akan selalu menyalahkan orang lain untuk permasalahan yang timbul. Untuk individu semacam ini, yang mungkin sangat baik secara akademis, mereka sangat mungkin akan sukses untuk sementara waktu, tapi pada akhirnya mereka tidak bisa benar-benar merasakan apa itu keberhasilan.
Dia akan sering mengeluh, penuh kebencian, dan terus berjuang dengan cara yang kasar.
Jika kita adalah tipe orang tua yang “protektif” seperti ini, apakah kita tetap benar-benar menunjukkan rasa cinta kita kepada mereka jika kita justru menghancurkan karakter dan masa depan anak-anak kita itu?
Anda dapat berjuang agar anak Anda tinggal di rumah yang besar, makan makanan yang enak dan bergizi, belajar memainkan piano, menonton televisi Big Screen. Tapi, ketika Anda memotong rumput, biarkan mereka ikut merasakan pengalaman memotong rumput. Setelah mereka makan, biarkan mereka mencuci piring-piring mereka sendiri bersama dengan kakak dan adik mereka.
Ini bukan karena Anda tidak mampu mempekerjakan seorang asisten rumah tangga, tapi karena Anda ingin mereka mengerti, tak peduli seberapa kaya orang tua mereka, suatu hari rambut orangtua mereka akan memutih, sama seperti Ibu dari anak muda pada cerita di atas
- Internet - (from Ardi Facebook Pages)

1 komentar: